Sunday, 14 July 2013

IMAM AL-GHAZALI

Nama Lengkapnya, ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul-Islam. Dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan dalam Th. 450 H. (1058 M). Ayahnya bekerja membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thuala.

Sebelum meninggal ayah Al-Ghazali meninggalkan kata pada seorang ahli tasawwuf temannya, supaya mengasuh dan mendidik Al-Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah Al-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawwuf itu.

Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu, selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar uraian alim ulama itu maka ayah Al-Ghazali menangis tersedu-sedu seraya bermohon kepada Allah swt. Kiranya dia dianugerahi seorang putera yang pandai dan berilmu.

Pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian pergi ke negeri jurjan dan belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili.

Setelah mempelajari beberapa ilmu di negeri tersebut, berangkatlah Al-Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam Al-Haramain. Di sanalah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantik (logika) falsafah dan fiqih madzhab Syafi’i. Imam Al-Haramain amat berbesar hati dan selalu mengatakan : “Al-Ghazali itu lautan tak bertepi…….”.

Setelah wafat Imam Al-Haramain, lalu Al-Ghazali berangkat ke Al-Askar mengunjungi Menteri Nizamul-muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka-pemuka ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ketinggian dan keahlian Al-Ghazali. Menteri Nizamul-muluk melantik Al-Ghazali pada tahun 484 H. menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang didirikannya di kota Bagdad. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar di Perguruan Nizamiyah dengan cukup mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, di mana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.

Maka pada tahun 488 H. Al-Ghazali pergi ke Makkah menunaikan rukun Islam kelima. Setelah selesai mengerjakan Haji, ia terus ke negeri Syam (Siria), mengunjungi Baitul-makdis. Kemudian ke Damaskus dan terus menetap beribadah di masjid Al-Umawi di kota tersebut pada suatu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama “Al-Ghazaliyah”, diambil dari nama yang mulia itu. Pada masa itulah dia mengarang kitab “IHYA’” yang kami alihbahasakan ini. Keadaan hidup dan kehidupannya pada saat itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudian dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya –Ihya’–. Tak lama sesudah itu berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar pada Perguruan Nizamiyah Nisapur. Akhirnya, kembali ia ke kampong asalnya Thusia. Maka didirikannya di samping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama-ulama fiqih dan sebuah pondok untuk kaum shufi (ahli tasawwuf). Dibahagikannya waktunya antara membaca Al-Quran, mengadakan pertemuan dengan dengan kaum shufi, memberi pelajaran kepada penuntut-penuntut ilmu yang ingin menyauk dari lautan ilmunya, mendirikan shalat dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskannya sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul-khatimah Al-Ghazali meninggal dunia pada hari Senin tanggal 14 Jumadil-akhir tahun 505 H (1111 M) di Thusia.

Jenazah dikebumikan di makan Ath-Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli sya’ir yang termasyhur. Sebelum meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Francis Bacon seorang filosuf Inggeris, yaitu : “Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang snyi senyap. Namuku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa depan”.


Sumber: Imam Al Ghazali (cetakan 1980); Ihya Ulumiddin, Jiwa Agama, Jilid 1, Perc. Menara Kudus (Indonesia)

No comments:

Post a Comment